Fondasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi ilmu

1. FONDASI ONTOLOGI 

 Ontologi berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani yaitu "ontos" yang berarti being atau wujud, dan "logos" yang artinya logic atau ilmu. Seringkali ontologi diartikan sebagai "teori tentang keberadaan sebagai keberadaan" (The theory of being qua being) atau hakikat tentang keberadaan yang ada atau yang mungkin ada. 

Persoalan tentang ontologi merupakan kajian filsafat ilmu yang pertama, dan sering disebut dengan proto-filsafat dan identik dengan metafisika. 

 Menurut The Liang Gie, ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang menyingkap makna eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan: apa artinya ada dan hal yang ada?; apa kelompok-kelompok dari sesuatu yang ada?; apa sifat dasar realitas dan hal yang ada?; apakah cara-cara yang berbeda dalam entitas dari kriteria logis yang berlainan(misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi, dan bilangan) bisa disebut ada?. 

 Dalam Ensiklopedi Britannica menjelaskan jika ontologi merupakan teori atau studi tentang wujud/being (sesuatu yang ada) seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ibid. Secara umum, ontologi mempelajari hakikat sesuatu. Hakikat ialah realitas, realiltas ialah kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. 

 -Ontologi Ilmu dalam Perspektif Islam 

 Secara ontologis, filsafat telah mengarahkan manusia hingga sampai pada kesimpulan tentang adanya sebab pertama atau biasa disebut causa prime dari adanya segala sesuatu. Namun tanpa jawaban pasti apa yang disebut dengan causa prime tersebut, berbanding terbalik dengan islam yang secara tegas menyatakan jika Allah adalah causa prime tersebut. Sehingga kajian ontologi dalam pendidikan islam tidak dapat dipisahkan dari Allah yang merupakan causa prime dan hakikat pendidikan harus mengacu pada wahyu Tuhan.

 Dalam buku Membumikan al-Qur’an, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa "ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen". 

Hal ini selaras dengan firman Allah swt. Q.S. al-Haqqah [69]: 38-39, yang artinya, “Maka, aku bersumpah dengan apa-apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” “Apa-apa” tersebut "bisa jadi" tidak ada dalam dunia empiris, namun sebenarnya ada dan merupakan suatu yang real.  

Menurut Mulla Sadra, wujud Allah adalah tak terbatas, dalam konteks ini "mustahil dapat dikenal, dibayangkan dalam pikiran, dan dibuktikan dengan selain-Nya". Konsep wujud yang seperti ini lah yang terdapat dalam filsafat al-Hikmah al-Muta‘aliyah. Ibid. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk paling sempurna dan sebaik-baiknya ciptaan. Ada akal yang membedakan manusia dengan hewan, tumbuhan, batu, dan lainnya. Dengan akal, manusia mampu berpikir kritis dan membawa dunia ke peradaban yang lebih maju dengan adanya teknologi dan sains yang ditemukan. Teknologi dan sains adalah bagian dari ilmu pengetahuan. 

Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) itu. Ontologi pendidikan Islam membahas tentang hakikat pendidikan Islam yang terangkum dalam tiga konsep yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. 

Pendidikan islam menurut para pakar:

1.  Ahmad. D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah "bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam". 
2. Saefuddin Anshari mengatakan pendidikan Islam adalah "proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, susulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan dan kemauan, intuisi, dsb)".
3. M. Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa "pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya". 
4. Ahmad Tafsir mendefinisikan "pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam". 

Kesimpulan dari empat pendapat di atas adalah pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengarahkan kehidupan peserta didik agar sesuai dengan ideologi Islam. Pandangan ontologi di atas juga dianggap sangat penting dalam pendidikan islam mengingat peserta didik akan bertemu langsung dengan dunia luar dan hal tersebut akan memunculkan keinginan besar untuk mengerti tentang suatu hal. Peristiwa dan realitas dunia tak dapat dihindari, manusia akan bertemu dengan objek analisis baik biotik maupun abiotik. 
Akan muncul pertanyaan-pertanyaan terkait peristiwa atau fenomena yang terjadi. Serta sudut pandang hal-hal yang mungkin tidak bisa dicerna logika ketika berbenturan dengan adat-istiadat dan agama. Tentang kematian dan kehidupan setelah kematian. Begitu pun kenyataan perihal semesta, adanya manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani, serta pertanyaan tentang wujud atau eksistensi dari Tuhan itu sendiri. Sekolah atau pendidik tidak memiliki kewajiban untuk membuat peserta didik memahami kenyataan, tetapi pendidik memiliki tanggung jawab untuk membina peserta didik tentang kebenaran yang berakar pada realita itu. Realita merupakan sebagai tahap pertama dan jalan untuk memahami kebenaran. Peserta didik didik wajib dibimbing kemampuan berpikir kritisnya sehingga mereka mampu mengerti kedinamisan di sekitarnya; adat-kebiasaan, tatanan sosial serta pola-pola masyarakat, moral, etika, dan hukum. 


 2. FONDASI EPISTEMOLOGI

 Epistemologi, berasal dari bahasa Yunani "episteme" yang berarti pengetahuan dan "logos" yang berarti kata/pembicaraan/ilmu. 
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas masalah terkait asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi atau disebut juga dengan Teori Pengetahuan juga tak lepas dari pembahasan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta per-tanggungjawaban atas pernyataan tentang pengetahuan yang dimiliki oleh tiap pribadi.

Menurut Kattsoff, "epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki asal muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan". Runes dalam kamusnya yang dikutip oleh Ali Anwar dan Tono TP, "epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge". 
Sehingga, masalah epistemologi harus diletakkan dalam susunan kerangka bangunan filsafat manusia. Hal ini lebih berorientasi pada hakikat manusia yang terdiri dari unsur-unsur yang di antaranya membahas mengenai ilmu pengetahuan. Maka berbicara tentang hakikat manusia dalam kerangka ini mau tidak mau harus berbicara tentang upaya manusia memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini sependapat dengan Ahmad Tafsir, jika epistemologi membahas perihal sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya. 

Menurut Ahmad Tafsir, manusia yang baru lahir tidak memiliki pengetahuan apa pun. Hal ini berbanding terbalik dengan pendapat Plato tentang adanya "innate idea atau ide bawaan". Sehingga dalam hal ini, muncullah pengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi tiga macam yakni pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. 


-Epistemologi Ilmu dalam Perspektif Islam. 

 Ada tiga aliran pemikiran dalam kajian epistemologi barat, yaitu empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sedangkan dalam pemikiran filsafat Hindu menyatakan jika kebenaran bisa diperoleh dari tiga hal, yaitu teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam sendiri, kurang lebih ada tiga model sistem berfikir dalam Islam, yaitu bayani, burhani dan irfani.

 Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruksi epistemologi yang berbeda dalam menjawab permasalahan. Sejak zaman yunani kuno filsafat telah berkembang sebagai suatu bentuk kreativitas manusia dalam berpikir dengan menggunakan kekuatan daya nalarnya. 
 Adanya islam adalah sebagai jawaban dari pertanyaan dan permasalahan hidup manusia. Islam memiliki jawaban tersendiri terkait epistemologi, dan jawaban tersebut bersumber dari Alquran sebagai sumber hukum islam. Alquran memberikan jawaban universal terkait persoalan kemanusiaan. Epistimologi diinterpretasikan melalui pendekatan logis oleh para pemikir muslim yang akhirnya merumuskan filsafat islam.


 - Ruang lingkup Epistemologi 

Epistemologi ilmu membahas tentang hal-hal terkait:
 1. Sumber- sumber ilmu pengetahuan 
2. Alat pencapai ilmu pengetahuan 
3. Metode pencapaian pengetahuan 
4. Batasan pengetahuan atau klasifikasi pengetahuan 

Mengenai alat pencapai ilmu pengetahuan, secara umum para pemikir Islam menyepakaati tiga alat epistemologi yang manusia miliki guna mencapai ilmu pengetahuan, yakni indra, akal dan hati. Ketiganya kemudian mempelopori adanya tiga metode dalam cara memperoleh pengetahuan, yaitu:

 1. Metode observasi 
 Metode observasi adalah yang biasa dikenal di barat, metkde ini juga disebut dengan metode bayani. Yang mana metode ini menggunakan indra sebagai alatnya. Metode observasi bertujuan untuk mengadakan pengkajian pada objek-objek yang bersifat inderawi sehingga produknya berupa pengetahuan sains. Muhammad Baqir Shadr menyebut metode ini dengan nama metode disposesi. 

2. Metode deduksi logis 
Metode deduksi logis atau umumnya disebut juga metode demonstratif, menggunakan akal sebagi alatnya. Metode ini juga dikenal dengan metode burhani dalam filsafat islam. Seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an, untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan diperlukan akal (Q.S Al baqarah :44, 242,Al-an'am : 152, Al anfal: 22, At taubah : 122 dan lain-lain). 

 Metode ini ditujukan guna memahami realitas-realitas imajinal manusia dan menghasilkan ilmu-ilmu murni berupa logika, matematika dan filsafat. 

 3. Metode intuitif Metode intuitif juga disebut metode irfani, yang mana alatnya adalah hati. Terakhir, metode intuitif yang berfungsi sebagai cara untuk memahami realitas yang bersifat metafisis(yang bersifat hudhuri) dalam jiwa manusia secara langsung dan melahirkan pengetahuan mistik. 



 3. FONDASI AKSIOLOGI 



 a) Pengertian Aksiologi 

 Aksiologi diambil dari Bahasa Yunani "axio" yang berarti nilai dan "logos" yang berarti ilmu atau teori. Jadi teori yang membahas nilai dan berkaitan dengan manfaat dari pengetahuan disebut aksiologi. Baik nilai-nilai yang berupa hal-hal yang positif atau negatif, dan dalam pengertian lain aksiologi adalah pendidikan yang berfungsi untuk menguji dan mengitegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud bernilai apabila memiliki manfaat, benar, logis, bermoral, etis dan memiliki nilai religius.

 Sedangkan pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel sebagaimana dikutip Chabib Toha "a value is an idea a concept about what some one thinks is important in life". 

 Aksiologi menjadi pilar ketiga dalam bangunan ilmu pengetahuan dalam perspektif islam setelah ontologi dan aksiologi. Makna aksiologi dalam filsafat islam adalah bagaimana manfaat ilmu ketika nilai yang dikaitkan dengan akidah dan moral serta bagaimana dampaknya dalam penerapan ilmu pengetahuan.. 

 Jadi aksiologi merupakan ilmu yang membahas perihal tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sederhananya, aksiologi mempelajari hakikat serta manfaat yang muncul dari pengetahuan. b) Obyek atau Ruang lingkup Aksiologi Filsafat Islam Ada dua penilaian yang umum digunakan dalam aksiologi yaitu etika dan estetika. 

 Etika Etika diambil dari kata "ethos" (Bahasa Yunani) yang memiliki arti watak, karakter, atau adat kebiasaan yang mana memiliki kaitan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai piranti kebenaran atau evaluasi peristiwa sebelumnya. Etika merupakan cabang filsafat yang membahas moral secara kritis dan sistematis dan berfokus pada kajian perilaku, norma, juga adat istiadat manusia. Estetika Estetika berasal dari Bahasa Yunani "aisthetike" yang memiliki arti segala sesuatu yang bisa dicerna lewat indra. Estetika biasa dikenal dengan filsafat keindahan karena memang membahas mengenai penilaian terhadap sesuatu serta refleksi indera dalam merasa. Keindahan yang dimaksud adalah adanya unsur keselarasan, harmonis, dan tertata secara tertib dalam suatu kesatuan dan bersifat kaffah. Menurut Abuddin Nata tujuan pendidikan Islam, untuk menjadikan manusia menjadi pribadi yang shaleh, taat beribadah, dan rajin beramal untuk bekal akhirat.

Muhammad Athiyah al-Abrasy mengatakan “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training”. Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah menjadikan manusia sebagai hamba Allah, yakni beribadah kepada Allah. Hal ini selaras dengan yang tercantum dalam surat Ad Dzariyat ayat 56: yang artinya: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.  

Lewat pendekatan aksiologis, Jujun mengatakan jika ilmu haruslah diamalkan untuk kepentingan bersama sebagai sarana peningkatan taraf hidup dengan tidak melupakan kelestarian alam serta kodrat dan martabat sebagai manusia. 




 Kesimpulan: 

Akal dan Al-Quran adalah hakikat filsafat islam, yang mana akal adalah sebagai ciri kefilsafatan dan Al-Quran adalah ciri keislaman. Keduanya saling terikat dan tidak dapat dipisahkan dalam konsep filsafat islam. 
1. Ontologi, mengenai “apa” hakikat sesuatu, tentang being/wujud sesuatu hal,
 2. Epistimologi, mengenai “bagaimana” sesuatu itu diperoleh dan terjadi, 
3. Aksiologi, mengenai “untuk apa” sesuatu hal tersebut (manfaat dan kegunaan)






Referensi:

Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, (2014).
Mahfud, "Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Islam." CENDEKIA: Jurnal Keislaman 4, no. 1 (2018).
Zainal Arifin, "PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU." TA'DIB XIX, no. 01 (2014).
Fatkhul Mufid, "Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam." Jurnal Penelitian 7, no. 2 (2013).
Amrizal Habibie, 10 Pengertian Pendidikan Islam Menurut Para Pakar, 2017.
Fatkhul Mubin, "FILSAFAT MODERN: ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS,".
Darwis A. Soelaiman, FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN: Perspektif Barat dan Islam, (Aceh: Penerbit Bandar Publishing, 2019).
Zainuddin, Filsafat ilmu perspektif pemikiran islam, (Bayumedia, 2003)
Anas Salahuddin, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
Heri Masyharuddin Syah, Afriyani, dan Isna Fitrotin, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, 2015.



Komentar

Postingan Populer